Pada abad ke-7 sampai dengan awal
abad ke-8, di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan Hindu bernama Kalingga. Pada
akhir paruh pertama abad ke-8, diperkirakan th. 732 M, Raja Sanjaya mengubah
nama Kalingga menjadi Mataram. Selanjutnya Mataram diperintah oleh keturunan
Sanjaya (Wangsa Sanjaya). Selama masa pemerintahan Raja Sanjaya, diperkirakan
telah dibangun candi-candi Syiwa di pegunungan Dieng.
Pada akhir masa pemerintahan Raja Sanjaya, datanglah Raja Syailendra yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya (di Palembang) yang berhasil menguasai wilayah selatan di Jawa Tengah. Kekuasaan Mataram Hindu terdesak ke wilayah utara Jawa Tengah.
Pada akhir masa pemerintahan Raja Sanjaya, datanglah Raja Syailendra yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya (di Palembang) yang berhasil menguasai wilayah selatan di Jawa Tengah. Kekuasaan Mataram Hindu terdesak ke wilayah utara Jawa Tengah.
Pemerintahan Raja Syailendra yang
beragama Buddha ini dilanjutkan oleh keturunannya, Wangsa Syailendra. Dengan
demikian, selama kurang lebih satu abad, yaitu tahun 750-850 M, Jawa Tengah
dikuasai oleh dua pemerintahan, yaitu pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama
Hindu dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Buddha Mahayana. Pada masa
inilah sebagian besar candi di Jawa Tengah dibangun. Oleh karena itu,
candi-candi di Jawa Tengah bagian Utara pada umumnya adalah candi-candi Hindu,
sedangkan di wilayah selatan adalah candi-candi Buddha. Kedua Wangsa yang
berkuasa di Jawa Tengah tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai
Pikatan (838 – 851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari
Wangsa Syailendra.
Candi di Jawa Tengah umumnya
menghadap ke Timur, dibangun menggunakan batu andesit. Bangunan candi umumnya
bertubuh tambun dan terletak di tengah pelataran. Di antara kaki dan tubuh
candi terdapat selasar yang cukup lebar, yang berfungsi sebagai tempat
melakukan ‘pradaksina’ . Di atas ambang pintu ruangan dan relung terdapat
hiasan kepala Kala (Kalamakara) tanpa rahang bawah. Bentuk atap candi di Jawa
tengah umumnya melebar dengan puncak berbentuk ratna atau stupa. Keterulangan
bentuk pada atap tampak dengan jelas.
Di samping letak dan bentuk
bangunannya, candi Jawa tengah mempunyai ciri khas dalam hal reliefnya, yaitu
pahatannya dalam, objek dalam relief digambarkan secara naturalis dengan tokoh
yang mengadap ke depan. Batas antara satu adegan dengan adegan lain tidak
tampak nyata dan terdapat bidang yang dibiarkan kosong. Pohon Kalpataru yang
dianggap sebagai pohon suci yang tumbuh ke luar dari objek berbentuk bulat
banyak didapati di candi-candi Jawa tengah.
Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta
jumlahnya mencapai puluhan, umumnya pembangunannya mempunyai kaitan erat dengan
Kerajaan Mataram Hindu, baik di bawah pemerintahan Wangsa Sanjaya maupun Wangsa
Syailendra. Belum semua candi dimuat dalam situs web ini. Masih banyak
candi, terutama candi-candi kecil yang belum terliput, di antaranya: Abang,
Asu, Bogem, Bugisan, Candireja, Dawungsari, Dengok, Gampingan, Gatak, Gondang,
Gua Sentana, Gunungsari, Gunungwukir (Canggal), Ijo, Kelurak, Marundan, Merak,
Miri, Morangan, Muncul, Ngawen, Payak, Pendem, Pringapus, Retno, Sakaliman,
Sojiwan, Umbul dan Watugudig.
Candi Banyuniba
Candi
Banyuniba terletak di selatan Desa Cepit, Kelurahan Bokoharjo, Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Sleman. Letaknya sekitar 200 m dari Candi Barong, sekitar
1 km sebelah barat daya jalan raya Yogya-Solo. Candi Buddha ini berdiri
menghadap ke barat, menyendiri di lahan pertanian. Sekitar 15 m di depan bangunan
candi mengalir sebuah sungai kecil. Pada saat ditemukan, candi ini hanya
berupa reruntuhan. Penelitian dan rekonstruksi yang pertama di mulai pada tahun
1940. berdasarkan hasil penelitian diperkirakan bahwa Candi Banyuniba terdiri
atas satu candi induk yang menghadap ke Barat dan dikelilingi deretan candi
perwara berbentuk stupa, 3 berderet di selatan dan 3 lagi di timur. Saat ini
baru candi induknya yang berhasil dipugar. Tak satupun candi perwara yang
tersisa. Di halaman belakang candi terdapat sebuah lubang seperti sumur.
Ukuran
Candi Banyuniba relatif kecil, yaitu lebar 11 m dan panjang sekitar 15 m. Tubuh
candi berdiri di atas ‘batur’ setinggi 2,5 m yang terletak di tengah hamparan
batu andesit yang tertata rapi. Selisih luas batur dengan tubuh candi membentuk
selasar yang cukup lebar untuk dilalui 1 orang. Dinding dan pelipit atas batur
dipenuhi dengan hiasan bermotif sulur dan dedaunan yang menjulur keluar dari
sebuah wadah mirip tempayan. Di setiap sudut kaki candi terdapat
hiasan mirip kepala Kala yang disebut ‘jala dwara”. Hiasan ini berfungsi
sebagai saluran pembuang air hujan. Atap candi berbentuk limasan seperti kubah
(dagoba) dengan stupa di puncaknya.
Untuk
naik ke selasar di permukaan ‘batur’ (kaki candi) terdapat tangga selebar
sekitar 1,2 m, terletak tepat di depan pintu masuk bilik penampil. Pangkal pipi
tangga dihiasi dengan kepala sepasang naga dengan mulut menganga lebar.
Pintu
masuk dilengkapi dengan bilik ‘penampil’ beratap melengkung yang menjorok
sekitar 1 m keluar tubuh candi. Sisi depan atap bilik penampil dipenuhi dengan
hiasan bermotif sulur-suluran. Tepat di atas ambang pintu, terdapat hiasan
Kalamakara tanpa rahang bawah. Di bagian dalam dinding, di atas ambang pintu,
terdapat pahatan yang menggambarkan Hariti, dewi pelindung anak-anak, sedang
duduk bersila diapit oleh dua ekor burung merak. Di sekeliling wanita itu
terdapat anak-anak kecil yang mengerumuninya.
Pada
dinding selatan bilik penampil terdapat relief yang menggambarkan Kuwera, dewa
kekayaan, sedang duduk duduk dengan tangan kanan tertumpu paha. Di sebelah
kirinya, agak ke belakang, seorang pelayan memegangi pundi-pundi berisi uang.
Pada dinding di keempat sisi tubuh candi terdapat jendela palsu, yaitu lubang yang terlihat seperti sebuah jendela, namun sesungguhnya lubang tersebut tidak menembus ke ruang dalam tubuh candi. Di atas ambang jendela palsu terdapat hiasan Kalamakara, sedangkan di kiri dan kanannya terdapat relung yang berisi pahatan sosok penghuni kayangan atau surga, seperti kinara dan kinari, hapsara dan hapsari, serta Hariti dan Avataka. Di antara kalamakara dan pelipit atas ambang jendela tersembunyi pahatan sosok pria yang sedang duduk seolah melongok ke bawah. Hiasan semacam ini disebut ‘kudu’.
Pada dinding di keempat sisi tubuh candi terdapat jendela palsu, yaitu lubang yang terlihat seperti sebuah jendela, namun sesungguhnya lubang tersebut tidak menembus ke ruang dalam tubuh candi. Di atas ambang jendela palsu terdapat hiasan Kalamakara, sedangkan di kiri dan kanannya terdapat relung yang berisi pahatan sosok penghuni kayangan atau surga, seperti kinara dan kinari, hapsara dan hapsari, serta Hariti dan Avataka. Di antara kalamakara dan pelipit atas ambang jendela tersembunyi pahatan sosok pria yang sedang duduk seolah melongok ke bawah. Hiasan semacam ini disebut ‘kudu’.
Tidak
terdapat arca di ruangan dalam tubuh candi, namun dindingnya dihiasi dengan
sosok anak dan lelaki dalam berbagai posisi. Ada pahatan yang menggambarkan
seorang anak sedang bergantung pada dahan pohon, sederetan orang yang sedang
duduk berpelukan, seorang lelaki duduk bersila, dan sebagainya.
Di
halaman candi terdapat sepasang arca lembu dalam posisi duduk. Tidak didapat
informasi apakah arca tersebut memang terletak di tempat aslinya atau sudah
dipindahkan dari tempatnya semula.
Candi Barabudhur terletak di
Kabupaten Magelang, sekitar 15 km ke arah Baratdaya Yogyakarta. Candi Buddha
terbesar di Indonesia ini telah warisan budaya duniadan telah terdaftar dalam
daftar warisan dunia (world heritage list), yang semula diberi nomor 348 dan
kemudian diubah menjadi 582 pada tahun 1991. Lokasi Candi Barabudhur yang
merupakan bukit kecil dikelilingi oleh pegunungan Menoreh, G. Merapi dan G.
Merbabu di timurlaut, serta G. Sumbing dan G. Sindoro di baratlaut.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan
di antara para pakar tentang nama Barabudhur. Dalam Kitab Negarakertagama (1365
M.) disebut-sebut tentang Budur, sebuah bangunan suci Buddha aliran Vajradhara.
Menurut Casparis dalam Prasasti Sri Kahulunan (842 M) dinyatakan tentang
“Kawulan i Bhumi Sambhara”. Berdasarkan hal itu ia berpendapat bahwa Barabudhur
merupakan tempat pemujaan. Bumi Shambara adalah nama tempat di
Barabudhur. Menurut Poerbatjaraka, Barabudhur berarti Biara Budur,
sedangkan menurut Raffles, ‘bara’ berarti besar dan ‘budhur’ merupakan kata
dalam bahasa Jawa yang berarti Buddha.
Berdasarkan tulisan yang terdapat di
beberapa batu di Candi Barabudhur, para ahli berpendapat bahwa candi ini mulai
dibangun sekitar tahun 780 M, pada masa pemerintahan raja-raja Wangsa Sanjaya.
Pembangunannya memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan baru selesai sekitar
tahun 830 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa
Syailendra. Konon arsitek candi yang maha besar ini bernama Gunadharma, namun
belum didapatkan informasi tertulis tentang tokoh ini. Pada tahun 950 M, Candi
Barabudhur terkubur oleh lava letusan G. Merapi dan baru ditemukan kembali
hampir seribu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1814. Penemuan kembali Candi
Barabudhur adalah atas jasa Sir Thomas Stamford Raffles.
Pada saat Raffles berkunjung ke
Semarang, ia mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu ditemukan tumpukan batu
bergambar. Konon pada tahun 1814, serombongan orang mendatangi suatu daerah di
Karesidenan Kedu untuk mencari tahu lebih jauh tentang legenda yang berkaitan
dengan sebuah bukit dekat Desa Boro. Setelah membabat semak belukar dan
menggali serta membersihkan gundukan abu gunung berapi, mereka menemukan
sejumlah besar bongkahan batu berpahatkan gambar-gambar aneh. Raffles kemudian
memerintahkan Cornelius, seorang Belanda, untuk membersihkan batu-batu
tersebut. Pembersihan tumpukan batu dan lingkungan di sekitarnya kemudian
dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama Hartman.
Tangga paling bawah dihiasi dengan kepala naga dengan mulut menganga dan seekor singa duduk di dalamnya. Dugaan bahwa Candi Barabudhur menghadap ke timur diperkuat dengan adanya pahatan relief pradaksina ( yang dibaca memutar searah jarum jam), berawal dari dan berakhir di sisi timur. Selain itu, arca singa yang terbesar juga terdapat di sisi timur. Tangga menuju ke tingkat yang lebih tinggi dilengkapi dengan gerbang yang berukir indah dengan kalamakara tanpa rahang bawah di atas ambang pintu. Pada mulanya tinggi keseluruhan bangunan kuno ini mencapai 42 m, namun setelah pemugaran tingginya hanya mencapai 34,5 m. Batur atau kaki candi berdenah bujur sangkar dengan luas denah dasar 123 x 123 m, dilengkapi penampil yang menjorok keluar di setiap sisi. Keseluruhan bangunan terdiri atas 10 lantai yang luasnya mencapai 15, 13 m2. Lantai I sampai dengan lantai VII berbentuk persegi, sedangkan lantai VII sampai dengan lantai X berbentuk lingkaran.
Candi Barabudhur berdiri di atas
bukit yang memanjang arah timur-barat. Candi ini dibangun dari balok batu andesit
sebanyak 47,500 m3, yang disusun rapi tanpa perekat, dan dilapisi dengan
lapisan putuh ‘vajralepa’, seperti yang terdapat di Candi Kalasan dan Candi
Sari. Bangunan kuno Barabudhur berbentuk limas bersusun dengan tangga naik di
keempat sisi, yaitu sisi timur, selatan, barat, dan utara. Konon di sisi timur,
di bawah kaki candi, pernah ditemukan jalan naik ke atas bukit. Hal itu
mendasari dugaan bahwa Candi Barabudhur menghadap ke timur dan pintu utama
adalah yang terletak di sisi timur.
Tangga paling bawah dihiasi dengan kepala naga dengan mulut menganga dan seekor singa duduk di dalamnya. Dugaan bahwa Candi Barabudhur menghadap ke timur diperkuat dengan adanya pahatan relief pradaksina ( yang dibaca memutar searah jarum jam), berawal dari dan berakhir di sisi timur. Selain itu, arca singa yang terbesar juga terdapat di sisi timur. Tangga menuju ke tingkat yang lebih tinggi dilengkapi dengan gerbang yang berukir indah dengan kalamakara tanpa rahang bawah di atas ambang pintu. Pada mulanya tinggi keseluruhan bangunan kuno ini mencapai 42 m, namun setelah pemugaran tingginya hanya mencapai 34,5 m. Batur atau kaki candi berdenah bujur sangkar dengan luas denah dasar 123 x 123 m, dilengkapi penampil yang menjorok keluar di setiap sisi. Keseluruhan bangunan terdiri atas 10 lantai yang luasnya mencapai 15, 13 m2. Lantai I sampai dengan lantai VII berbentuk persegi, sedangkan lantai VII sampai dengan lantai X berbentuk lingkaran.
Candi Barabudhur tidak mempunyai
ruangan untuk tempat beribadah atau melakukan pemujaan karena candi ini
dibangun untuk tempat berziarah dan memperdalam pengetahuan tentang Buddha.
Luas dinding keseluruhan mencapai 1500 m2, dihiasi dengan 1460 panil
relief, masing-masing selebar 2 m.
Jumlah Arca Buddha, termasuk yang
telah rusak, mencapai 504 buah. Arca-arca Buddha tersebut menggambarkan
Buddha dalam berbagai sikap.
- Arca-arca di sisi timur menggambarkan Dhyani Buddha Aksobhya, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan menyinggung tanah atau sikap Bhumiparsyamudra.
- Arca-arca di sisi selatan menggambarkan Dhyani Buddha Ratnasambhawa, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan memberi anugrah atau sikap Varamudra.
- Arca-arca di sisi barat menggambarkan Dhyani Buddha Amitabha, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan bersemadi sikap Dhyanamudra.
- Arca-arca di sisi utara menggambarkan Dhyani Buddha Amogasidhi, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan menentramkam atau sikap Abhayamudra.
- Arca-arca di puncak menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mengajar (ibu jari dan telunjuk bersentuhan dan ketiga jari lain terangkat) atau sikap Vitarkamudra.
- Arca-arca di undakan lingkaran menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mewejangkan ajaran atau sikap Dharmacakramudra.
Candi Barabudhur melambangkan tiga
tingkatan dalam kehidupan manusia. Kaki candi disebut Kamadhatu,
melambangkan kehidupan di dunia fana, yang masih dipenuhi kama (hasrat dan
nafsu). Pada dinding kaki candi terdapat 160 panil relief Karmawibangga. Saat
ini relief tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup urukan. Pada saat
pembangunan candi ini sedang berlangsung, bangunan yang belum selesai tersebut
melesak ke bawah, sehingga arsiteknya memutuskan untuk menguruk bagian kakinya.
Konon selain untuk menghindari longsor, pengurukan bagian kaki ini juga
didasarkan atas alasan etika dan estetika.
Tubuh candi terdiri atas 5 tingkat,
makin ke atas makin mengecil, dengan denah bujur sangkar. Di setiap tingkat
terdapat selasar yang cukup lebar mengelilingi tubuh candi. Tepi selasar diberi
dinding yang dihiasi dengan panil-panil relief. Tubuh candi disebut Rupadhatu,
yang berarti dunia rupa. Dalam dunia ini manusia masih terikat dengan kehidupan
duniawi, namun sudah mulai berusaha mengendalikan hasrat dan nafsu.
Di beberapa tempat terdapat saluran
pembuangan air yang disebut Jaladwara. Dinding atas tingkat I dihiasi dengan
relief cerita yang diambil dari Kitab Lalitawistara, yang mengisahkan riwayat
Sang Buddha sejak turun dari surga Tusita ke bumi, saat menerima wejangan di
Taman Rusa dekat Benares, sampai pada saat mencapai kesempurnaan.
Dinding bawah dihiasi dengan relief
Jatakamala, kisah kehidupan Jataka dan Avadana, yang diwujudkan sebagai
Boddhisatwa karena perilakunya yang baik dalam kehidupannya yang lalu. Bagian
lain dari Kitab Jatakamala menghiasi sepanjang bagian atas dan bagian bawah
pagar selasar tingkat I dan tingkat II. Dinding candi di tingkat II dihiasi
relief dari Kitab Gandawyuha. Demikan juga dinding dan pagar selasar di tingkat
III dan tingkat IV. Kisah Sudhana yang dalam upayanya mencari pengetahuan dan
kebenaran telah bertemu Gandawyuha yang mengajari tentang kebijakan untuk
mencapai kesempurnaan dalam hidup.
Candi Dieng
Atap candi yang terdiri atas 3
tingkat disebut Arupadhatu, yang berarti dunia tanpa rupa (wujud). Pada tataran
kehidupan ini manusia sudah terlepas dari hasrat dan nafsu. Atap candi berupa
batur bersusun 3 dengan denah bundar membentuk 3 lingkaran bersusun dengan
pusat yang sama dengan stupa-stupa berisi arca Buddha. Dalam lingkaran di
tingkat I terdapat 32 stupa, di tingkat II terdapat 24 stupa dengan
lubang-lubang berbentuk wajik, bersisi horisontal datar dan sisi vertikal
miring. Lubang berbentuk wajik melambangkan adanya nafsu yang masih tersisa. Di
tingkat III terdapat 16 stupa dengan lubang hiasan berbentuk persegi, bersisi
horisontal datar dan sisi vertikal tegak. Lubang berbentuk persegi ini
melambangkan nafsu yang telah lenyap tak bersisa. Puncak atap merupakan sebuah
stupa yang sangat besar. Konon dalam stupa ini dahulu terdapat arca Sang
Adhi Buddha, yaitu Dhyani Buddha tertinggi dalam agama Buddha Mahayana.
Candi Barabudhur telah mengalami
beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan pada masa pemerintahan
Belanda, yaitu pada tahun 1907 – 191, di bawah pimpinan Van Erp. Dalam
pemugaran ini yang diutamakan adalah mengembalikan ketiga teras atap candi
dan stupa pusatnya. Pemugaran kedua berlangsung selama sepuluh tahun, yaitu
tahun 1973 – 1983. Dalam pemugaran ini Candi Barabudhur dibongkar,
fondasi dan dindingnya diberi penguat beton bertulang, dan batu-batunya
diteliti, dibersihkan, diberi pengawet kedap air dan disusun kembali sesuai
susunannya semula.
Candi Dieng
Candi Dieng merupakan kumpulan candi
yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa tengah. Kawasan Candi
Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut,
memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800
m.Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir
abad ke-8 sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa.
Sampai saat ini belum ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng,
namun para ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah
raja-raja dari Wangsa Sanjaya. Di kawasan Dieng ini ditemukan sebuah
prasasti berangka tahun 808 M, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf
Jawa kuno, yang masih masih ada hingga saat ini. Sebuah Arca Syiwa yang
ditemukan di kawasan ini sekarang tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.
Pembangunan Candi Dieng diperkirakan berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama
yang berlangsung antara akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama abad
ke-8, meliputi pembangunan Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi
Gatutkaca. Tahap kedua merupakan kelanjutan dari tahap pertama, yang
berlangsung samapi sekitar tahun 780 M.
Candi Dieng pertama kali diketemukan
kembali pada tahun 1814. Ketika itu seorang tentara Inggris yang sedang
berwisata ke daerah Dieng melihat sekumpulan candi yang terendam dalam genangan
air telaga. Pada tahun 1956, Van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan telaga
tempat kumpulan candi tersebut berada. Upaya pembersihan dilanjutkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864, dilanjutkan dengan pencatatan dan
pengambilan gambar oleh Van Kinsbergen.
Luas keseluruhan kompleks Candi
Dieng mencapai sekitar 1.8 x 0.8 km2. Candi-candi di kawasan Candi Dieng
terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri yang dinamakan
berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab Mahabarata.
Ketiga kelompok candi tersebut adalah Kelompok Arjuna, Kelompok Gatutkaca,
Kelompok Dwarawati dan satu candi yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.
a. Kelompok Arjuna
Kelompok Arjuna terletak di tengah
kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4 candi yang berderet memanjang arah
utara-selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan, kemudian berturut-turut ke
arah utara adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Tepat di
depan Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat candi di komples ini
menghadap ke barat, kecuali Candi Semar yang menghadap ke Candi Arjuna.
Kelompok candi ini dapat dikatakan yang paling utuh dibandingkan kelompok candi
lainnya di kawasan Dieng.http://baihaqibcl.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment