Kalimantan Selatan merupakan daerah yang memiliki tradisi keislaman yang kuat. Di sini terdapat "Serambi Mekkah", yakni kota Martapura di kabupaten Banjar. Martapura merupakan kota santri yang telah mencetak ribuan santri, dan ratusan ulama mumpuni.
Kuatnya akar Islam di tanah Banjar tidak lepas dari peran perjuangan para ulama dan waliyullah di masa kerajaan Banjar dahulu. Siapa tak mengenal Syekh Muhammad Arsyad al Banjary dengan kitab Sabilal Muhtadinnya. Kitab ini diterbitkan dan dipelajari tidak hanya di Indonesia tapi sampai ke manca negara seperti Malaysia dan Brunnei Darussalam.
Para wali di tanah Banjar di masa lalu sering diberi gelar Datu (gelar kehormatan di Malaysia, Datuk). Misalnya Datu Sanggul, Datu Suban, Datu Kelampayan. Sedangkan di masa sekarang ada ulama besar dan kharismatik di Kalsel, yakni Tuan Guru Sekumpul yang kini bermakam di Sekumpul Martapura.
Warga Kalsel yang ingin ziarah biasanya mengunjungi makam Guru Sekumpul, Datu Kelampayan, dan Datu Sanggul. Tiga tempat ziarah ini menjadi sering menjadi paket "wajib" bagi orang yang ingin ziarah di tanah Banjar.
Datu Sanggul merupakan gelar kehormatan kepada seorang wali Allah di tanah Banjar. Nama asli beliau adalah Abdus Shamad yang berasal dari Palembang dan hidup pada abad 18 Masehi.
(Datu Sanggul, Rantau)
Menurut riwayat, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari pernah bertemu dengan DatuSanggul sewaktu masih menuntut ilmu
di Mekkah. Dalam beberapa kali
pertemuan tersebut, keduanya kemudian sharing dan diskusi masalah ilmu ketuhanan. Hasil dari diskusi mereka tersebut kemudian ditulis dalam sebuah kitab yang oleh orang Banjar dinamakan kitab Barencong. Siapakah Datu Sanggul?
pertemuan tersebut, keduanya kemudian sharing dan diskusi masalah ilmu ketuhanan. Hasil dari diskusi mereka tersebut kemudian ditulis dalam sebuah kitab yang oleh orang Banjar dinamakan kitab Barencong. Siapakah Datu Sanggul?
Berdasarkan tutur lisan yang
berkembang dalam masyarakat dan beberapa catatan dari beberapa orang penulis
buku, sepengetahuan penulis setidaknya ada tiga versi yang menjelaskan tentang
sosok dan kiprah Datu Sanggul.
Versi Pertama menyatakan bahwa Datu
Sanggul adalah putra asli Banjar. Kehadirannya menjadi penting dan lebih
dikenal sejarah lewat lisan dan berita Syekh Muhammad Arsyad yang bertemu
dengannya ketika beliau masih belajar di Mekkah. Dalam suatu riwayat
diceritakan bahwa Datu Sanggul pernah berbagi ilmu dengan Syekh Muhammad Arsyad
dan melahirkan satu kitab yang disebut dengan kitab Barencong yang isinya
menguraikan tentang ilmu tasawuf atau rahasia-rahasia ketuhanan dan sampai
sekarang masih menjadi bahan perdebatan serta diragukan keberadaannya, karena
tidak pernah ditemukan naskahnya. Namun walaupun demikian pengertian dari kitab
Barencong itu sendiri dapat kita tinjau dan pahami dari dua sisi, yakni
pemahaman secara tersurat dan secara tersirat. Secara tersurat boleh jadi kitab
tersebut memang ada, berbentuk seperti umumnya sebuah buku dan ditulis bersama
sebagai suatu konsensus keilmuan oleh Syekh Muhammad Arsyad dan Datu Sanggul
(hal ini menggambarkan adanya pengakuan dari Syekh Muhammad Arsyad akan
ketinggian ilmu tasawuf Datu Sanggul).
Kemudian secara tersirat dapat pula
dipahami bahwa maksud kitab Barencong tersebut adalah simbol dari pemahaman
ketuhanan Syekh Muhammad Arsyad yang mendasarkan tasawufnya dari langit turun
ke bumi dan simbol pemahamanan tasawuf Datu Sanggul dari bumi naik ke langit.
Maksudnya kalau Syekh Muhammad Arsyad belajar ilmu ketuhanan dan tasawuf
berdasarkan ayat-ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi Saw dan
tergambar dalam Shirah hidup beliau, sahabat dan orang-orang sholeh sedangkan
Datu Sanggul mengenal hakikat Tuhan berdasarkan apa-apa yang telah
diciptakan-Nya (alam), sehingga dari pemahaman terhadap alam itulah
menyampaikannya kepada kebenaran sejati yakni Allah, karena memang pada alam
dan bahkan pada diri manusia terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi mereka
yang mentafakurinya. Dengan kata lain ilmu tasawuf Datu Sanggul adalah ilmu
laduni yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Karena itulah orang yang
ingin mempelajari ilmu tasawuf pada dasarnya harus menggabungkan dua sumber
acuan pokok, yakni berdasarkan wahyu (qauliyah) dan berdasarkan ayat-ayatNya
“tanda-tanda” (qauniyah) yang terpampang jelas pada alam atau makhluk
ciptaanNya.
Versi Kedua, menurut Zafri Zamzam
(1974) Datu Sanggul yang dikenal pula sebagai Datu Muning adalah ulama yang
aktif berdakwah di daerah bagian selatan Banjarmasin (Rantau dan sekitarnya),
ia giat mengusahakan/memberi tiang-tiang kayu besi bagi orang-orang yang
mendirikan masjid, sehingga pokok kayu ulin besar bekas tebangan Datu Sanggul
di Kampung Pungguh (Kabupaten Barito Utara) dan pancangan tiang ulin di
pedalaman Kampung Dayak Batung (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) serta makam
beliau yang panjang di Kampung Tatakan (Kabupaten Tapin) masih dikenal hingga
sekarang. Salah satu karya spektakulernya yang masih dikenang hingga kini
adalah membuat tatalan atau tatakan kayu menjadi soko guru masjid desa Tatakan,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga ketika membuat soko guru
dari tatalan kayu untuk masjid Demak. Tidak ada yang tahu siapa nama asli tokoh
ini, sebutan Datu Sanggul adalah nama yang diberikan oleh Syekh Muhammad Arsyad
ketika beliau menjawab tidak memakai ilmu atau bacaan tertentu, kecuali “hanya
menjaga keluar masuknya nafas, kapan ia masuk dan kapan ia keluar”, sehingga
dapat secara rutin pulang pergi sholat ke Masjidil Haram setiap hari Jumat.
Versi ketiga, berdasarkan buku yang
disusun oleh H.M. Marwan (2000) menjelaskan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah
Syekh Abdus Samad, ia berasal dari Aceh (versi lain menyebutkan dari Hadramaut
dan dari Palembang). Sebelumnya Datu Sanggul sudah menuntut ilmu di Banten dan
di Palembang, ia menjadi murid ketiga dari Datu Suban yang merupakan mahaguru
para datu yang ahli agama dan mendalami ilmu Tasawuf asal Pantai Jati Munggu
Karikil, Muning Tatakan Rantau. Informasi lain yang berkembang juga ada yang
menyatakan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Ahmad Sirajul Huda atau Syekh
Jalil. Datu Sanggul atau Syekh Abdus Samad satu-satunya murid yang dipercaya
oleh Datu Suban untuk menerima kitab yang terkenal dengan sebutan kitab
Barincong, beliau juga dianggap memiliki ilmu kewalian, sehingga teristimewa di
antara ketigabelas orang murid Datu Suban.
Datu Sanggul lebih muda wafat, yakni
di tahun pertama kedatangan Syekh Muhammad Arsyad di Tanah Banjar. Berkat
keterangan Syekh Muhammad Arsyad-lah identitas kealiman dan ketinggian ilmu
Datu Sanggul terkuak serta diketahui oleh masyarakat luas, sehingga mereka yang
asalnya menganggap “Sang Datu” sebagai orang yang tidak pernah shalat Jumat
sehingga tidak layak untuk dimandikan, pada akhirnya berbalik menjadi hormat
setelah diberitakan oleh Syekh Muhammad Arsyad sosok Datu Sanggul yang
sebenarnya.
Banyak cerita yang lisan yang
beredar di masyarakat berkenaan dengan keramat Datu Sanggul. Diceritakan bahwa
Kampung Tatakan pernah dilanda Banjir, akibat hujan lebat, sehingga jalan-jalan
di Kampung tergenang oleh air. Pas ketika hari Jumat, biasanya orang kalau
mengambil air wudhu di sungai yang mengalir, dengan duduk di batang. Tetapi
ketika Datu Sanggul datang dan berwudhu dalam penglihatan orang-orang di masjid
beliau menceburkan diri ke sungai, tetapi anehnya ketika naik, badan beliau
tidak basah.
Jamaah Masjid juga pernah
menyaksikan ketika shalat, dalam beberapa menit
tubuh Datu Sanggul melayang di udara dan hilang dari pandangan orang banyak. Riwayat juga ada menceritakan tentang berpindah-pindahnya kuburan dari Datu Sanggul dari beberapa tempat, sampai yang terakhir di Tatakan.
tubuh Datu Sanggul melayang di udara dan hilang dari pandangan orang banyak. Riwayat juga ada menceritakan tentang berpindah-pindahnya kuburan dari Datu Sanggul dari beberapa tempat, sampai yang terakhir di Tatakan.
Berdasarkan paparan di atas menjadi
satu catatan penting, untuk menggagas kembali penelitian sejarah yang
mengungkapkan riwayat hidup tokoh sentral masyarakat Tapin ini secara detail,
guna melengkapi dan memperkaya khazanah tulisan-tulisan yang sudah ada mengenai
riwayat hidup, sejarah perjuangan dan kiprah beliau di Bumi Kalimantan, seperti
“Riwayat Datu Sanggul dan Datu-Datu” oleh sejarawan Banjar Drs. H. A. Gazali
Usman, atau pula “Manakib Datu Sanggul”, oleh H.M. Marwan. Tenut saja, agar
generasi yang hidup di masa sekarang dan masa mendatang tidak pangling
terhadap sejarah dan tokoh yang menjadi “maskot” daerah mereka. Dalam artian bukan maksud untuk mengagung-agungkan apalagi mengkultuskan mereka, tetapi untuk mengikuti jejak hidup, perjuangan dan akhlak positif sesuai prinsip ajaran agama yang telah ditorehkannya.
terhadap sejarah dan tokoh yang menjadi “maskot” daerah mereka. Dalam artian bukan maksud untuk mengagung-agungkan apalagi mengkultuskan mereka, tetapi untuk mengikuti jejak hidup, perjuangan dan akhlak positif sesuai prinsip ajaran agama yang telah ditorehkannya.
Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment